Bu Ijah, 42, sehari-harinya bekerja sebagai tukang cuci paruh waktu
di kompleks perumahan yang berdekatan dengan tempat tinggalnya di
pinggiran Jakarta Barat. Beberapa majikannya berkeinginan membayar gaji
melalui rekening bank. Tetapi Bu Ijah telah menutup rekening yang dulu
dibukanya di sebuah bank nasional. Alasannya terlalu banyak potongan dan
biaya yang harus ia bayar. “Uang saya kan tidak seberapa. Kalau
kepotong 10 ribu atau 12 ribu sebulan itu sangat besar bu,” kata bu Ijah
menjelaskan alasannya.
Pak Trianto, 53, yang sehari-hari mengayuh
becak di kota Tangerang menggunakan bank paling tidak sebulan sekali
untuk mengirimkan uang ke keluarganya di sebuah desa di Klaten, Jawa
Tengah. “Dulunya titip lewat teman kalau ada yang pulang kampong. Tetapi
sekarang bisa lewat bank,” katanya sambil menunjuk sebuah bank yang di
jejeran ruko tempat ia mangkal. Sama denga bu Ijah, Trianto juga
mengeluhkan beban administrasi yang dipotong bank dari saldo rekeningnya
yang juga tak seberapa. “Mudah-mudahan rekening saya tidak ditutup
kalau kepotong terus,” ucap Trianto lirih.
Bu Ijah bisa jadi
merupakan contoh dari puluhan juta rakyat Indonesia yang memilih tak
berhubungan dengan bank karena beban biaya serta kendala lain berupa
persyaratan administrative. Padahal posisi bank dalam masyarakat
sebetulnya sangat penting sebagai tempat penyimpanan uang dan praktis
untuk berbagai transaksi sehari-hari. Sementara jutaan lainnya
berhubungan putus sambung dengan bank karena rekeningnya buka tutup
akibat beban biaya administrasi Continue Reading...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar