Selasa, 09 Desember 2014

Agar Finansial Anda Tidak Hancur Saat Memutuskan Bercerai

Perencanaan Keuangan - Perceraian semakin jamak terjadi di tengah masyarakat. Itu menjadi indikasi tantangan kehidupan pernikahan kian berat dari hari ke hari. Tak cuma menguras ongkos batin, sisi finansial juga kerap ikut terkoyak proses pahit itu. Bagaimana pengelolaan risiko finansial agar perceraian tidak kian memukul kocek?

Kehidupan cinta kasih dalam bingkai pernikahan, semakin hari, seolah-olah semakin jauh dari tagline penutup dongeng yang kerap kita dengar  di masa kecil: Happily ever after atau hidup berbahagia selama-lamanya.

Kesimpulan itu mungkin tebersit di benak Anda ketika mendapati fakta tentang peningkatan angka perceraian di negeri kita. Kementerian Agama  RI pernah merilis data, setiap tahun paling tidak terjadi lebih dari 200.000 kasus perceraian. Jauh meningkat ketimbang kondisi 10 tahun silam yang cuma 50.000 kasus perceraian per tahun. Cerai gugat juga kian mendominasi ketimbang cerai talak. Ini berarti semakin banyak kaum perempuan yang berinisiatif menggugat cerai.


Perceraian tak cuma melahirkan luka batin yang permanen bagi pasangan suami istri yang pernah saling mencintai. Anak-anak adalah korban utama dari pernikahan yang berakhir tragis. Di sisi lain, banyak konsekuensi finansial yang menghadang dari setiap keputusan perceraian. Walau bercerai, urusan utang dan harta yang dimiliki selama menikah menjadi harta dan tanggungjawab bersama yang harus dibagi,? ujar Eko Endarto, perencana keuangan Finansia Consulting.

Yang paling utama adalah masalah harta gana-gini. Penyatuan dua orang dalam pernikahan berarti juga penyatuan harta. Ketika perpisahan terjadi, harta yang terkumpul selama pernikahan juga ikut tercerai.

Kedua, permasalahan utang. Banyak pasangan suami istri saat masih bersama memiliki banyak utang atau kredit bersama. Misalnya, kredit pemilikan rumah (KPR) atau mobil (KPM), dan sebagainya.

Ketiga, masalah tunjangan anak bagi pasangan suami istri yang memiliki anak. Suami sebagai kepala keluarga memiliki tanggungjawab lebih besar untuk masalah ini. Namun, dalam praktiknya, tuntutan yang sama besar juga harus ditanggung oleh si istri selaku ibu.

Keempat, biaya pengurusan proses perceraian ke pengadilan, termasuk fee pengacara, akuntan, notaris, maupun divorce planner jika ada.

Kelima, bekal finansial pasca bercerai. Kondisi kocek turut berubah drastis jika semula Anda joint income dan kini menjadi lajang lagi. Situasi akan lebih berat bagi wanita yang tidak bekerja selama berstatus sebagai istri.

Jika terpaksa pisah

Memang, tidak ada seorangpun yang terpikir untuk bercerai ketika mengikat janji di depan penghulu atau di altar pernikahan. Namun, saat keputusan itu terpaksa harus Anda ambil, pastikan Anda telah berhitung risikonya dengan cermat.

Dalam perspektif pengelolaan keuangan atau personal finance, kasus perceraian dilihat sebagai keputusan pahit yang tetap membutuhkan penanganan khusus. Itu agar keputusan bercerai tidak menjadikan seseorang rugi secara finansial Continue Reading...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar