Perencanaan Keuangan
- Perceraian semakin jamak terjadi di tengah masyarakat. Itu menjadi
indikasi tantangan kehidupan pernikahan kian berat dari hari ke hari.
Tak cuma menguras ongkos batin, sisi finansial juga kerap ikut terkoyak
proses pahit itu. Bagaimana pengelolaan risiko finansial agar perceraian
tidak kian memukul kocek?
Kehidupan cinta kasih dalam bingkai
pernikahan, semakin hari, seolah-olah semakin jauh dari tagline penutup
dongeng yang kerap kita dengar di masa kecil: Happily ever after atau
hidup berbahagia selama-lamanya.
Kesimpulan itu mungkin tebersit
di benak Anda ketika mendapati fakta tentang peningkatan angka
perceraian di negeri kita. Kementerian Agama RI pernah merilis data,
setiap tahun paling tidak terjadi lebih dari 200.000 kasus perceraian.
Jauh meningkat ketimbang kondisi 10 tahun silam yang cuma 50.000 kasus
perceraian per tahun. Cerai gugat juga kian mendominasi ketimbang cerai
talak. Ini berarti semakin banyak kaum perempuan yang berinisiatif
menggugat cerai.
Perceraian tak cuma melahirkan luka batin yang
permanen bagi pasangan suami istri yang pernah saling mencintai.
Anak-anak adalah korban utama dari pernikahan yang berakhir tragis. Di
sisi lain, banyak konsekuensi finansial yang menghadang dari setiap
keputusan perceraian. Walau bercerai, urusan utang dan harta yang
dimiliki selama menikah menjadi harta dan tanggungjawab bersama yang
harus dibagi,? ujar Eko Endarto, perencana keuangan Finansia
Consulting.
Yang paling utama adalah masalah harta gana-gini.
Penyatuan dua orang dalam pernikahan berarti juga penyatuan harta.
Ketika perpisahan terjadi, harta yang terkumpul selama pernikahan juga
ikut tercerai.
Kedua, permasalahan utang. Banyak pasangan suami
istri saat masih bersama memiliki banyak utang atau kredit bersama.
Misalnya, kredit pemilikan rumah (KPR) atau mobil (KPM), dan sebagainya.
Ketiga,
masalah tunjangan anak bagi pasangan suami istri yang memiliki anak.
Suami sebagai kepala keluarga memiliki tanggungjawab lebih besar untuk
masalah ini. Namun, dalam praktiknya, tuntutan yang sama besar juga
harus ditanggung oleh si istri selaku ibu.
Keempat, biaya
pengurusan proses perceraian ke pengadilan, termasuk fee pengacara,
akuntan, notaris, maupun divorce planner jika ada.
Kelima, bekal
finansial pasca bercerai. Kondisi kocek turut berubah drastis jika
semula Anda joint income dan kini menjadi lajang lagi. Situasi akan
lebih berat bagi wanita yang tidak bekerja selama berstatus sebagai
istri.
Jika terpaksa pisah
Memang, tidak
ada seorangpun yang terpikir untuk bercerai ketika mengikat janji di
depan penghulu atau di altar pernikahan. Namun, saat keputusan itu
terpaksa harus Anda ambil, pastikan Anda telah berhitung risikonya
dengan cermat.
Dalam perspektif pengelolaan keuangan atau personal
finance, kasus perceraian dilihat sebagai keputusan pahit yang tetap
membutuhkan penanganan khusus. Itu agar keputusan bercerai tidak
menjadikan seseorang rugi secara finansial Continue Reading...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar